Pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan merupakan misteri yang tidak ada jawabnya. “Bagaimana hidup saya tahun depan? Di mana saya akan berada lima atau sepuluh tahun yang akan datang?”
Benang merah untuk menguak misteri ini, sepertinya perlu melalui “mimpi”. Mungkinkah seseorang hidup tanpa impian? Jika ada, saya tidak dapat membayangkan bagaimana ia dapat mempunyai semangat untuk menggapai sesuatu dalam hidupnya.
Gambarannya mungkin seperti melihat kertas putih kosong yang dibentangkan, dan mata kita akan menjelajah tanpa arah. Namun jika pada kertas itu ditorehkan satu titik saja, ke manapun mata kita melihat, ia akan selalu kembali pada titik yang sama. Kita tidak akan pernah dapat melepaskan pandangan kita darinya. Karena itu, mimpi bisa juga berperan sebagai arahan atau kompas yang akan menunjukkan tujuan yang harus ditempuh. Kita tidak akan mengetahui apakah langkah kita benar dan mengalami kemajuan, jika kita tidak mengetahui arah yang benar itu.

Biasanya kita hanya mampu mempunyai cahaya yang cukup untuk melihat selangkah di depan kita, apa yang harus kita kerjakan sebentar lagi atau besok pagi. Seni hidup adalah menikmati apa yang dapat kita lihat, dan bukan menggerutui hal-hal yang masih gelap. Kalau kita dapat mengambil satu langkah maju dengan keyakinan bahwa kita akan mempunyai cukup cahaya untuk mengambil langkah berikutnya, maka kita dapat meniti jalan hidup ini dengan gembira. Kita sendiri akan heran kalau menyadari jauhnya perjalanan yang dapat kita tempuh. Marilah kita syukuri cahaya kecil yang kita bawa, dan janganlah kita menuntut obor besar yang akan menghapuskan segala bayang-bayang.
Cahaya kecil inilah yang mengajak kita untuk merenungkan bahwa ternyata ada perbedaan besar antara hidup yang berhasil dan hidup yang berbuah. Keberhasilan sering kali berkaitan dengan kekuatan, penguasaan, dan kehormatan. Orang yang berhasil mempunyai kekuatan untuk menciptakan sesuatu, menguasai perkembangannya, dan memproduksinya dalam jumlah besar. Keberhasilan ini memberikan keuntungan, dan biasanya juga nama besar.
Sebaliknya hidup yang berbuah dilandaskan pada kelemahan, kerentanan. Setiap buah itu istimewa, khusus, tidak massal. Seorang anak misalnya, adalah buah yang dikandung dalam keringkihan; komunitas adalah buah yang lahir dari kelemahan hidup manusia yang berbagi rasa; keakraban adalah buah yang berkembang di antara pribadi yang saling membuka luka-luka hidup mereka. Marilah kita saling mengingatkan, bahwa yang memberikan kegembiraan sejati bukanlah hidup yang berhasil, melainkan hidup yang berbuah.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih atas Komentarnya, GBU